Krisis yang terjadi di bumi Timor leste yang dahulunya adalah propinsi Timor timur, membawa saya pada kenangan ditempat itu. Akhir agustus 1999 -- saat itu saya masih mahasiswa di ITB, saya dikirim sebagai relawan tim Pemantau jajak pendapat Timor-timur di bawah bendera Forum Rektor Indonesia. Bersama rekan-rekan relawan yang lain yang kebanyakan adalah juga mahasiswa (tarmasuk juga dari unpad, unpar, dll) kami berangkat lewat jalur laut. Setelah lima hari perjalanan akhirnya kami berlabuh di Pelabuhan Dili. Tim dibagi dalam beberapa kelompok, kelompok saya bertugas di kabupaten manatuto.
Pertama kali berada di Dili saya sudah merasa di negri asing. Seperti sudah bukan di Indonesia lagi. Mungkin ini hanya perasaan saya saja karena saya langsung berhadapan dengan situasi yang mencekam, ini medan perang. Jaga kelakuan, jaga kata yang diucapkan, waspada terhadap lingkungan sekitar, jangan terpancing atau percaya omongan dari orang tak dikenal. Salah-salah nyawa bisa melayang. Pada saat itu ada dua kubu milisi yang bertikai, yaitu milisi Fretilin (atau milis pro-kemerdekaan atau prokem) dan milisi pro-integrasi atau proint. Berurusan (apa lagi bentrok) dengan kedua milisi bisa berakibat fatal. Diantara keduanya, konon milisi pro-integrasi lebih galak dan kejam. Milisi pro-kemerdekaan biasanya cenderung introvert dan sayang menghambur-hambur peluru. Walaupun kita mengaku dari Jakarta belum tentu mendapat perlakuan yang ramah dari milisi pro-integrasi. Alhamdulillah, selama di timor-timur beberapa kali saya mengalami sweeping namun tidak pernah ada masalah.
Jajak pendapat berlangsung dengan tertib dan tenang. Namun hasilnya memang diluar dugaan, pemilih pro-kemerdekaan menang telak hampir diseluruh wilayah Timor-timur. Di wilayah yang saya pantau jajak pendapat berlangsung biasa-biasa saja. Ada sedikit kecurangan baik dari kedua pihak, namun saya anggap hanyalah kecurangan minor. Laporam rekan-rekan tim pemantau dari wilayah lain berbeda-beda, ada kecurangan Minor ada juga kecurangan Nyata. namun kita semua terhenyak begitu keesokan harinya presiden habibie mengumumkan menerima hasil jajak pendapat Timor-timur. Sepertinya akan sia-sia, pun jika kami mengumumkan hasil pantauan kami.
Selama kurang lebih dua minggu saya berada di timor timur, saya tidak bisa menebak apakah rakyat timor-timur mayoritas lebih memilih integrasi dengan Indonesia ataukah memilih merdeka. Saya tidak banyak bergaul dengan mereka. bapak pendeta yang menemani kami selama di sana mengatakan, Jika rakyat melihat kenyataan, pilihan integrasi dengan Indonesia lebih menguntungkan dibanding merdeka. Namun kami semua tidak yakin apakah rakyat timor-timur cukup cerdas untuk memilih sesuai dengan akal sehat (Hey, pertanyaan ini juga kudu di tanyakan kepada pemilih indonesia waktu pemilu kemarin)
menurut pandangan saya pribadi, keputusan presiden Habibie (pada saat itu) memberikan opsi jajak pendapat kepada rakyat Timor-timur cukup bijaksana. memang keputusan yang tidak populer dan sangat menyakitkan para veteran perang yang dulu bertugad di Timor-timur. Tapi Timor-timur memang beda dengan Wilayah indonesia lainnya. Selama dalam "naungan" Indonesia, Timor-timur bagaikan kerikil dalam sepatu, menjadi ganjalan bagi tim diplomasi Indonesia di luar negri dan menjadi cemoohan negara lain. sementara kita tidak mendapat keuntungan apapun dengan bergabungnya Timor-timur dalam kedaulatan RI. Yang patut dipertanyakan adalah keputusan presiden habibie menerima hasil jajak pendapat hanya sehari setelah diumumkan. Bagi kami tim pemantau jajak pendapat, belum cukup waktu untuk mendiskusikan hasil pantauan apakah hasil tersebut bisa diterima atau tidak
1 komentar:
Saya sedang membantu tim KPP (Komisi Kebenaran dan Persahabatan) untuk menerbitkan semacam laporan tertulis mengenai "duduk perkara" sebenarnya chaos yang terjadi menjelang dan sesudah jajak pendapat. Saya bisa wawancara pribadi dengan anda atau diberi informasi mengenai link/forum yang mengangkat tema tentang jajak pendapat di Timor Timur?
Terimakasih.
Samodro - cinexen@gmail.com
Posting Komentar